­

Beban Agama (bukan) di Pundak Perempuan

by - Mei 07, 2022

Suatu hari ada seorang perempuan yang bercerita di sosial media mengenai pengalamannya dilecehkan oleh laki-laki. Selama ini ia memendam pengalaman itu sendiri karena berpikir bahwa mendapatkan sexual harassment adalah sebuah aib yang memalukan. Tetapi melihat bagaimana pola pikir society yang terus berkembang, akhirnya ia memutuskan untuk speak up terkait pengalaman tersebut di sosial media. Dengan harapan, ia akan memperoleh dukungan moral dan sebuah validasi akan perasaan-perasaannya yang berkecamuk setelah mendapatkan pelecehan. Untung-untung kalau akhirnya ia juga bisa memidanakan si pelaku.

Ternyata, instead of mendapatkan dukungan dan validasi, yang dia peroleh justru hujatan dari netizen. Boro-boro memidanakan pelaku, sekadar kenyamanan untuk bercerita aja dia gak punya. Kata netizen "salahmu lah, pake baju kok yang mengundang syahwat orang" atau "makanya pake jilbab dong. itu tuh gara-gara kamu gak pake jilbab. dalam islam perempuan dewasa kan wajib pake jilbab." Selalu. Pada akhirnya orang-orang melakukan victim blaming dan menggunakan argumen agama untuk menyalahkan si korban.

 


Di lain kasus, seorang influencer yang tadinya berjilbab akhirnya memutuskan untuk melepas jilbab tersebut. Reaksi netizen seperti biasa; mereka bertindak sebagai polisi moral. Sibuk berkomentar yang tidak baik. Menyalahkan keputusan si influencer. Menceramahi influencer dengan dalil-dalil agama. Mengatakan bahwa sebagai orang islam yang baik, berjilbab itu adalah sebuah kewajiban. 

Gak salah. Jilbab dalam islam adalah kewajiban yang harus dilaksanakan bagi kaum perempuan. Masalahnya, kenapa persoalan jilbab aja bisa menjadi sesuatu yang besar. Seakan-akan ketika seorang perempuan memutuskan untuk menanggalkan jilbabnya itu berdosa sekali. Kenapa kemudian orang-orang yang bahkan gak pernah bersinggungan langsung dengan influencer tersebut merasa berhak menyampaikan kekecewaannya, keresahannya hanya karena ia melepas jilbabnya. 

Ketika ditanya hal tersebut, argumen mereka adalah "ya kan sesama saudara muslim, kita harus saling mengingatkan. kita harus saling menasihati. sedih dong sesama muslim tapi kita biarkan dia bertindak di luar akidah yang ada?"

My follow up question, apakah orang-orang ini memiliki kapasitas mental yang sama ketika melihat sesama saudara muslimnya korupsi? Merendahkan perempuan? Melecehkan orang lain? Menghina orang lain? Menyakiti binatang? Merusak alam? Belum tentu.

Ironisnya, fenomena-fenomena itu sangat umum terjadi; baik yang terekspos maupun yang tersembunyi.

Narasi yang digaungkan setiap kali perempuan-perempuan mengalami perlakuan tidak senonoh adalah narasi agama. Seolah-olah mereka dilecehkan sebab belum menjadi muslimah yang baik. Mereka disalahkan hanya karena belum memenuhi salah satu kewajiban sebagai muslim. Perempuan selalu dilihat dari tingkat ke-religius-annya dalam beragama. Sementara si laki-laki, yang mana dalam hal ini berperan sebagai pelaku tidak dipandang demikian. Pelaku cenderung dilihat sebagai sosok manusia yang punya hak untuk melakukan apa saja. Biasanya, pembelaan yang diterima oleh si pelaku adalah "ya dia kan berhak untuk ngapain aja" atau "ya kucing kalo dikasih ikan mana bisa nolak. wajar lah." 

Gak pernah ada argumen yang menyalahkan pelaku seperti "ya salah elu lah kaga nundukin pandangan. ada cewe lewat ya nundukin pandangan biar gak nafsu." Padahal kalau mau berbicara dalam konteks agama, kalimat itu bisa menjadi counter attack argumen "makanya pake jilbab biar ga dilecehin cowok." Dan itu adalah hal paling logis yang harusnya dilakukan laki-laki manapun. Kayak, kalau selama ini society selalu menuntut tanggung jawab keberagamaan yang baik pada perempuan dengan selalu menekan mereka untuk menjaga perilaku, memakai jilbab dan lain sebagainya. Kenapa laki-laki gak dituntut hal yang sama dengan menyuruh mereka untuk menjaga pandangannya? Padahal baik laki-laki maupun perempuan; kalau mereka sama-sama memeluk suatu agama ya berarti mereka sama-sama punya tanggung jawab untuk menjadi seorang muslim/muslimah yang baik (kalau konteksnya agama islam) 

Kenapa lalu hanya perempuan yang dituntut untuk menjadi muslim yang baik? Padahal beban beragama itu bukan untuk perempuan aja. Jangan lupa beban beragama itu diperuntukkan bagi semua pemeluknya.



 

You May Also Like

0 comments