Kecil-Kecil Jadi Tukang Bully. Salah Siapa?
Rasanya, kasus bullying selalu terjadi di mana saja dan pelakunya bisa siapa saja. Tidak memandang gender. Tidak memandang usia. Tua, muda semua bisa menjadi pelaku dalam kasus perundungan. Baru-baru ini, kasus bullying viral lagi karena korban diduga mengalami bullying berupa kekerasan fisik hingga meninggal dunia. Korbannya masih pelajar. Dan tebak, berapa usia pelaku? Betul. Tidak berbeda jauh dengan korban. Pelaku juga masih pelajar, dan mereka melakukan perbuatan tercela tersebut ketika korban hendak menunaikan sholat. Kok mereka? Lah pelakunya ada sembilan, bun :)
Bayangkan, kamu mengandung anak selama 9 bulan, begitu lahir kamu besarkan dia dengan sepenuh hati, kamu jaga dia seolah dia satu-satunya barang berharga yang kamu punya. Ketika menginjak usia sekolah, ada segerombolan manusia entah siapa tiba-tiba datang dan menyakiti anakmu. Bukan disakiti fisik saja, mental juga dirusak. Tidak cukup sampai disitu, akhirnya kamu terpaksa merelakan anakmu pergi untuk selamanya sebab kekerasan fisik yang dialami ternyata berakibat fatal. Hancur kan?
Tapi orang tua pelaku tentu lebih hancur lagi. Sama. Dia juga membesarkan anaknya dengan sepenuh hati. Tetapi pada akhirnya harus menyaksikan anaknya menjadi pelaku pembullyan. Atau dalam kasus di atas, barang kali sudah masuk ranah pembunuhan? Tentu dia merasa bersalah dan merasa gagal. Perasaan hancur yang dirasakan oleh orang tua pelaku dua kali lipat. Ia harus menanggung perasaan bersalah sebab anaknya melakukan tindakan kriminal yang merenggut nyawa orang lain, dan perasaan kecewa, sedih sebab merasa gagal dalam mendidik anak.
Tidak ada satupun orang tua yang ingin anaknya tumbuh menjadi seorang kriminal dan melakukan hal-hal jahat. Lantas kenapa selalu saja ada kasus pembullyan di mana bahkan pelakunya masih di bawah umur?
Barangkali, ada kelalaian yang tidak disadari orang tua saat mengasuh anak. Mungkin tanpa sengaja orang tua memperlihatkan adegan kekerasaan pada sang anak. Mungkin tanpa sadar orang tua melukai harga diri sang anak saat di rumah hingga anak merasa rendah diri dan mencari-cari pembuktian akan superioritas dia dengan membully anak yang lebih lemah di sekolahnya.
Anak yang terluka harga dirinya sebab selalu diremehkan saat di rumah akan sibuk mencari pembuktian di luar rumah. Ia akan sibuk membuktikan bahwa dia kuat, bahwa dia bisa, bahwa dia memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh teman-temannya yang lain sehingga sang anak bisa saja mencari pembuktian tersebut dengan cara-cara yang negatif.
Kelalaian kita sebagai pendidik juga barangkali berperan dalam hal ini. Mungkin kita sebagai guru di sekolah kurang memberi contoh mengenai perilaku yang baik sebenarnya seperti apa. Mungkin kita sebagai guru kurang bersikap tegas, ketika siswa berbuat salah bukannya memberi sanksi malah mengabaikan dengan alasan "kan dia masih kecil. wajarlah" padahal dari kenakalan sepele saja, ketika kita tidak bertindak tegas, anak bisa jadi akan berpikiran bahwa perilakunya benar dan tidak apa-apa untuk melakukan kenakalan-kenakalan lain.
Ada banyak yang perlu dikoreksi dalam kasus perundungan. Baik pihak orang tua maupun sekolah sama-sama memiliki tanggung jawab terkait kasus tersebut. Seharusnya semua pihak masing-masing berbenah diri. Sudahkah kita mengemban tanggung jawab dengan amanah? Apakah kita masih melakukan kelalaian-kelalaian tersebut? Perilaku anak-anak merupakan cerminan dari orang dewasa di sekitarnya, jadi jika anak-anak sampai melakukan tindak kejahatan; salah siapakah akhirnya?
0 comments